Tuesday, 19 January 2016

Dongeng: Perjalanan ke Alam Jin - Aceh Poker Agen Judi Terpercaya

ACEHPOKER hadir untuk Anda semua pecinta permainan kartu POKER ONLINE yang khususnya berada di Asia. Dengan sistem teknologi baru dan server kecepatan tinggi akan membuat permainan poker Anda lebih seru dan menarik bersama teman-teman Anda maupun saingan Anda.
Klik Jackpot Poker
Anda Bisa Langsung Daftar DISINI

Acehpoker“Itu di sana pak..” ujar Pak Amat sambil melonjorkan telunjuknya

“Di karang berbatu itu..?”

“Ya pak, di sanalah anakku menghilang..”

Aku menghela nafas. Tak salah pikirku, bukan cuma sekali aku harus masuk ke gerbang tua alam jin itu. Pak Amat hanyalah warga miskin dari desa Sindangharu. Ia seorang petani tua yang bekerja di sawah. Anaknya bernama Parjo berusia 25 tahun. Suatu hari bersama teman-temannya ia pergi memancing ikan di sisi laut Panggedean. Sudah tidak asing lagi bahwa laut ini dikuasai oleh raja laut paling ditakuti seantero pulau Jahwana. Sebab itu pula jarang sekali orang datang berwisata ke Panggedean meskipun airnya jernih dan ikannya banyak.

Suatu hari, Pak Amat datang kerumahku selepas maghrib. Dengan wajah pucat berurai air mata ia menceritakan nasib anaknya yang malang, sudah satu minggu menghilang. ia sudah melapor ke polisi dan dibantu warga setempat. Hasilnya nihil. Salah satu tetangganya lalu menganjurkannya meminta jasa paranormal. Kebetulan ia menunjuk aku sebagai tokoh yang katanya bisa mengembalikan anaknya.

Jujur, aku bukanlah dukun atau paranormal seperti yang mereka omongkan. Aku hanya bisa membaca bismillah sebagaimana umat muslim juga bisa mengucapkannya. Perbedannya mungkin karna aku lebih menghormati bismillah ketimbang ayat lainnya. Aku tirakati. Aku puasai sampai berbulan-bulan, sehingga ayat bismillah menancap betul di lidahku sampai menghasilkan beberapa karomah yang tidak bisa di nalar akal.

Dulu, setahun yang lalu. Seorang kakek tua bernama Sarmon hilang di laut Panggedean. Istrinya datang menangis memintaku agar suaminya dapat kembali pulang. Akupun menyanggupi permintaannya dan masuk ke alam Jin itu. Di sana aku bertemu dengan raja laut, memintanya agar melepaskan kakek tua bernama Sarmon. Sayang, kakek Sarmon malah betah tinggal di sana dengan selir mudanya yang cantik jelita. Bahkan ia memintaku untuk berbohong mengabari keluarganya bahwa ia sudah tiada.

Ketika datang Pak Amat membawa kabar duka kehilangan anaknya. Aku menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala. Bukan tak sanggup, tapi lebih disebabkan trauma. Betapa tidak, kakek tua renta bernama Sarmon saja betah tinggal di istana raja laut dengan berbagai fasilitas ditambah istri muda. Bagaimana nanti bila aku bertemu pemuda bernama Parjo itu? Ya, dia hanya pemuda yang nafsu dan birahinya sedang di puncak. Bagaimana nanti jika raja laut memberinya kemewahan dan wanita muda yang cantik jelita. Apakah dia sudi kembali ke alam manusia?!.

Lagi-lagi aku menghela nafas dengan beratnya. Perjalanan ini bukan perjalanan yang mudah, meskipun di alam sana aku mempunyai beberapa kawan dari golongan Jin yang siap membantuku. Awalnya aku menolak, tapi melihat reaksi Pak Amat yang sedikit memaksa dan menangis sejadi-jadinya membuatku tak tega melihat batinnya yang begitu menderita.

******

Hari ini, kami berdiri di sisi laut Panggedean. Hanya lima orang, aku bersama muridku Subroto, pak amat ditemani tetangga dan saudara iparnya bernama Joko.

“Pak Amat, bolehkah saya minta perahu kecil agar bisa ke sana..” Pintaku sambil celingukan karna tak ada apapun untuk menuju ke karang tua gerbang itu.

Pak amat menyanggupi permintaanku, ia di temani Joko berlari kearah kampung nelayan meminjam perahu kecil yang bisa ditumpangi berdua.

Tak lama, perahu itu sudah berada di sisi laut. Karna hari hampir senja. Langit mulai gelap. Aku meminta agar Pak Amat dan keluarganya segera pulang atau menunggu saja di kampung nelayan. Mereka setuju. Aku mulai menaiki perahu itu bersama Subroto muridku. Ia berdiri dibelakang. Mendayung, membuat perahu melaju kencang menuju karang tua.

“Subroto,, pelan pelan saja… biarlah kita sampai pada karang itu selepas maghrib..”

“Baik guru”

“O ya, apa kau membawa rokok?”

“Ini ada di kantong baju saya guru”

“Coba ambilkan juga koreknya, hatiku bergetar begini,,” jujurku, sebab aku tahu belaka bahwa masuk ke karang tua sama saja dengan bunuh diri.

Subroto memberiku sebungkus rokok dengan koreknya, aku menyalakan api dan mulai menghisap rokok itu berkali kali. Hatiku sedikit tenang.

“O ya, nanti setiba aku di sana, kau menjauhlah dari karang itu sejauh 20 meter agar tidak terkena getaran gaib,, waktuku tidak lama, hanya seperempat jam saja, aku akan cepat-cepat kembali pulang, tapi jangan kau sangka walau aku cuma seperempat jam, jika di dunia gaib itu sama dengan satu hari..”

“Baik guru.”

Kulihat matahari mulai terbenam di ufuk barat, sinarnya yang keemasan meredup menyisakan fajar di langit. Warna laut mulai berubah menghitam, dengan sinar kecil dari bulan sabit yang mulai muncul di permukaan. Riak air laut mulai terasa dingin dan…

“Wussshhhh.. wushhhh.. wushhhh…!!!”

Tiba-tiba angin kencang menghajar perahu kami, hampir saja tubuhku terpental dibuatnya.

“Cepatlah kau mendayung perahu,,, Subroto,,” Teriaku pada muridku.

Perahu itu meluncur kencang. Sambil memejamkan mata, aku komat kamit membaca bismillah. Angin yang berseliweran kencang mulai sedikit mereda dan berhenti mendadak. Kakiku terasa memijak tanah. Menandakan aku sudah berada di alam Jin. Perlahan ku buka mata, didepanku berdiri seorang Jin yang berdiri tegap setinggi tiga hasta. Wajahnya putih dengan telinga sebesar gajah. Aku mendongak keatas. Ia tersenyum simpul. Keadaan disini terang benderang.

“Assalamualaikum wahai junjunganku… selamat datang di alam kami, apakah ada yang bisa saya bantu tuan?” Suara itu menggema parau.

“Wa’alaikum salam.. Oh… ku kira siapa, ternyata engkau Salmin,, tadi angin ribut yang hampir membuat perahuku oleng itu ulahmu ya,,?!”

“Benar tuan, saya hanya membantu tuan agar lebih cepat masuk ke sini..”

Aku berseri gembira, ternyata sahabat ku, Salmin, Jin dari Baghdad, dia menyambutku di gerbang utama. Kemudian aku menceritakan perihal nasib Pak Amat yang kehilangan anaknya bernama Parjo. Aku meminta Salmin agar mengantarku ke kerajaan raja laut. Ia menyanggupinya, aku di suruhnya naik ke pundaknya dan ia terbang dengan begitu cepat. Tak berapa lama kami sudah tiba di halaman istana kerajaan raja laut Panggedean.

Istana itu begitu megah dan mewah di hiasi ornamen kayu hias dengan pintu utama terbuat dari marmer. Di tengah halaman istana terdapat kolam air mancur yang di kelilingi patung ikan hiu dan kura-kura emas berkepala naga. Kami berdua berdiri di tengah halaman. Kemudian terdengar suara terompet dan.. keluarlah beberapa prajurit istana dari segala penjuru, menyemut dan mengerubuni kami.

Dari balik pintu istana, muncul raja laut Panggedean di temani dua selirnya berpakaian emas di hiasi intan berlian. Raja laut melihatku geram. Matanya melotot dengan hidung mendengus kesal.

“Kau lagi bodoh..?!” Bentaknya kepadaku.

Aku hanya cengengesan saja

“Bukankah sudah ku bilang kepadamu jangan masuk ke istanaku lagi, kenapa engkau lagi-lagi datang dan datang lagi hah?!!”

Aku diam saja, mengacuhkan omongannya sambil menyalakan rokok.

“Heh bodoh, kau tuli ya?! Apa kau ingin mampus,,! Hah?! Untuk apa kau datang ke sini?!”

Aku melirik salmin, aku pinta ia agar mundur. Kulihat ratusan prajurit dengan seragam merah dan bertopi seperti sirip Hiu itu mengerumuni kami.

“Maaf tuan raja, bukan maksud saya untuk tidak menghormati peraturan yang tuan buat, tapi saya di sini tak lain hanya ingin membawa pulang seorang pemuda bernama Parjo..”

“Tidak bisa..!!”

Aku mengernyitjkan dahi.

“Dia sudah membunuh salah satu prajurit terbaikku, nyawa harus di bayar nyawa” 

“Heh,, bagaimana mungkin seorang pemuda lugu bisa membunuh prajurit anda?!” 

“Ia memancing ikan di sisi laut panggedean, kemudian salah satu prajuritku yang berjaga di perbatasan berenang di laut dan mengira umpan yang ada dalam kail itu berupa makanan, sebab yang diberikan oleh si pemuda bangsat itu bukan rumput atau cacing tapi daging bangkai anjing. Pantas saja jika prajuritku memakannya, lalu pemuda itu menarik kailnya, ikan yang dia tangkap dan bunuh itu bukanlah ikan sebagaimana ikan di alam manusia, tapi itu jelmaan dari prajuritku,,” 

“Oh ya..?!” Tanyaku keheranan 

“Ya, dan si pemuda itu telah menginjak-nginjak dan menyiksa prajuritku sampai mati, maka saat ada yang melapor bahwa prajuritku mati di bunuh, aku segera mengirim puluhan pasukan untuk menangkap dan membawa pemuda dusun itu..” 

“Maaf tuan, tapi itu kan tidak sengaja. Lagipula, pemuda itu berniat memancing ikan, bukan memancing prajurit anda, bukankah ikan hiu juga kadang harus dipancing menggunakan bangkai dan darah? kau raja laut masa tidak mengerti?. Prajurit anda saja yang kelaparan, sudah tahu itu pancing untuk ikan kenapa dia malah memakannya?!” 

“Diam kau bodoh.!! Bukankah aku sudah memberi peraturan kepada seluruh penduduk di kampung nelayan agar jangan sampai ada yang memacing ikan atau dekat-dekat dengan batu karang di laut Panggedean. Itu sudah peraturan, yang melanggar harus dihukum, termasuk kau bodoh,,,!! kau sudah enam kali masuk wilayahku tanpa ijin,, pengawal,,,!! bunuh manusia picik itu…!!” 

Tiba tiba prajurit yang mengerumuni kami menyerbu dengan dahsyat seperti gelombang laut yang mengamuk. Bukan pertama kali aku menghadapi ribuan prajurit itu. Bahkan dulu, beberapa kali aku diserbu ketika aku masuk ke gerbang karang tua Panggedean. Bagiku serangan ini hanya biasa saja. Tidak terlalu menghawatirkan, yang kulakukan hanya membaca bisamillah lalu kukibas mereka dengan surban dan selendangku berkali-kali. Reaksinya sungguh tak terduga, mereka menjerit kesakitan, mengaduh-ngaduh dan mundur seketika. 

Melihat prajuritnya yang mulai mundur perlahan, raja laut menjadi geram dengan wajah yang semakin memerah. 

“Wahai raja,,, manusia tidak bisa disalahkan, mereka itu memancing di alam mereka, bukan di alam Jin, kecuali si Parjo itu masuk batu karang. Kemudian mancing ikan di laut alam anda, tentulah itu baru disebut salah. kalau kasusnya seperti ini, yang seharusnya disalahkan itu prajurit anda..

” Raja laut hanya melotot, mulutnya diam seribu bahasa, ia sudah tidak bisa berkutik pikirku. 

“Begini saja wahai raja,, lebih baik anda keluarkan saja si Parjo itu dan aku akan membawanya pulang, lagipula diantara kita tidak ada permusuhan,, kalau tidak..” 

“Kalau tidak kenapa…?!!” Bentak raja itu geram. 

“Aku akan membakar istana yang megah ini dengan api kecil ditanganku ini..” Kataku sambil memperlihatkan korek api. 

“Biadab,, bodoh,, baiklah,, aku akan melepaskan pemuda itu, tapi dengan syarat kau harus menjadi pengawalku..” 

“Ha ha ha… maaf raja,, ini benar benar menggelikan hati saya, bagaimana mungkin seorang manusia bisa menjadi pengawal Jin? Seharusnya Jin lah yang menjadi pengawal Manusia dan membantu manusia, bukan sebaliknya… ha ha ha…” 

“Akan ku beri kamu wanita cantik dan harta.. kamu tidak mau?” 

“Tuan raja, maaf beribu maaf, kita ini berbeda alam, aku ini manusia, aku di takdirkan menjadi kholifah di dunia, kalian saja belajar agama kepada nabi Muhammad seorang manusia, apakah di alam Jin ada seorang Nabi? Tidak ada..!! Itulah kenyataannya. Saya ini manusia, derajat dan akal saya lebih tinggi dari anda semua, bagaimana mungkin aku menghamba kepada kalian bangsa Jin, kalau sekedar membantu kapan saja aku siap jika di butuhkan, tapi menghamba??!! Ah, tidak, tidak,, lagipula saya punya tuhan yang lebih baik dari anda. Jadi aku mohon kau lepaskan pemuda itu, aku janji tidak akan membakar istana ini..” 

Raja laut diam saja, wajahnya makin memerah. 

“Baiklah bodoh,,! pengawal,,!! bawa pemuda sial itu ke sini..” 

Lalu bebrapa pengawal masuk kedalam istana, tak lama mereka membawa seorang pemuda memakai kaos hijau bercelana levis. Wajahnya… Sungguh tidak karuan, dengan banyak bekas tonjokan lebam menghitam dan darah mengucur di bibirnya. Sepertinya ia sudah disiksa habis-habisan oleh mereka.

“Baiklah aku lepaskan pemuda ini. Tapi ingat, jangan pernah kembali lagi ke istanaku,,,!! Pengawal,,,!! Lemparkan pemuda itu…!!” teriak raja sambil ngeloyor masuk ke dalam istana ditemani selir-selirnya. 

Tak lama, para pengawal kerajaan itu melemparkan tubuh Parjo seperti melempar kapas. 

“Salmin,, tolong tangkap tubuh itu,” dan Salmin dengan sigap menangkapnya. 

Tanpa basa basi lagi, karna urusan sudah selesai. Aku meminta Salmin untuk memegang pemuda itu dan aku naik ke pundaknya. Salmin menerbangkan kami ke angkasa. Aku menutup mata. Tak berapa lama kami sudah tiba di gerbang karang tua. Aku berpamitan kepada Salmin dan berterimakasih kepadanya. Ku ajak parjo meninggalkan alam gaib dan menasihatinya agar berhati-hati bila memancing ikan di laut Panggedean. Subroto menanti kami di tepi karang, kami pulang dengan selamat. Parjo kembali kepada keluarganya.. Sekian.



No comments:

Post a Comment