Agen judi online terpercaya dengan mata uang rupiah
Tengah malam. Baru saja dipertemukan dengan cinta, aku nanap dari tidur. Istriku masih lelap dan aku duduk di sampingnya. Aku tak mendapat serangan mimpi buruk. Tidak juga mimpi basah—terakhir kali aku mengalaminya ketika aku berusia dua puluh. Ini bangun yang wajar. Dan sebagaimana orang yang terbangun di tengah malam, apalagi seorang pengecut yang sudah beristri, karena takut pada gelap di pojokan kamar, aku bergeser ke dekat istriku dan memeluknya dengan erat. Pelukan yang selalu berhasil menghalau setiap perasaan yang tak diharapkan. Paginya, istriku akan bertanya padaku kenapa semalam aku memeluknya begitu erat. Aku katakan bahwa itu bukan salahku. Istriku tersenyum. Dia mengerti apa yang kumaksud. Ya, tentu saja istriku mengerti. Setiap kali aku terbangun di tengah malam dan memeluknya dengan erat, itu tak lebih karena aku mengalami semacam ‘de javu’ yang rutin. Meski tak sepenuhnya tepat, begitulah aku selalu menyebutnya. Sebetulnya akan jauh lebih mudah kalau disebut sebagai mimpi. Tapi, begitulah. Ini mimpi yang terlalu nyata, hampir-hampir mendapat porsi tersendiri dalam realitas sehari-hari, dan begitu berpengaruh terhadap diriku. Hampir setiap malam aku dipertemukan dengan orang yang aku cintai. Kejadiannya selalu sama: istriku datang ketika aku linglung di tengah hutan pinus yang lebat, dan menuntunku ke arah cahaya yang begitu menyilaukan. Aku tak akan bisa melihat apapun kecuali binar-binar terang yang berputaran di dalam bola mataku. Ketika akhirnya aku mendapatkan kembali penglihatanku, aku sudah berada di tengah kota yang ramai. Pejalan kaki lalu lalang. Toko-toko dijaga oleh satpam yang melarang tiap orang berbaju dekil masuk. Seorang perempuan berwajah oriental sedang mewarnai rambut di dalam salon terkenal. Aku mengamati dengan terheran-heran. Istriku terus menarik tanganku. Dia membawaku ke tengah alun-alun, dimana orang-orang berkerumun di sekitar air mancur warna-warni yang begitu indah. Ada yang berpacaran, memberi makan burung, bengong, dan berlarian mengejar sesuatu yang entah apa. Istriku kembali menarik tanganku. Kami berjalan menembus kerumunan orang-orang. “Kita mau kemana?” “Mencari sesuatu.” “Tapi—” Aku tak mengerti bagaimana, tapi dia tahu bahwa aku sedang mencari sesuatu (yang pada saat itu belum aku tahu apa). Dia jarang bicara—tak seperti biasanya. Dia hanya bicara untuk menjawab pertanyaan atau meningkahi rengekanku. Dia memegang erat tangan kananku dengan tangan kirinya. Tangannya terasa lembab dan berdenyut. Cincin pernikahan kami melingkar di jari manisnya, dan cincin itu terasa begitu dingin, beku, saat menyentuh kulit tanganku. “Aku lapar,” kataku. “Kita sudah makan.” “Oh, benarkah?” “Ini mimpi, ingat?” “Ya, lalu?” “Buat dirimu merasa kenyang.” “Mana bisa?” Kami terus berjalan. Dan aku tetap merasa lapar. Tak peduli itu di dalam mimpi atau tidak, aku gampang merasa lapar. Istriku selalu mempermasalahkan soal ini, karena dia mesti memasak banyak makanan untukku. Tapi begitulah, dia selalu mengeluh dengan senyum tersimpul di bibirnya. Entah bagaimana dia bisa melakukannya. Kami berhenti di depan sebuah kafe yang temboknya dipenuhi gambar bergaya doodle. Kafe itu sepi, hanya ada beberapa pelayan yang sedang membersihkan meja. Seorang diantaranya sedang mengganti bohlam yang pecah. Cukup lama istriku memandang ke dalam kafe. Menyelidiki setiap sudut yang bisa dicapai oleh matanya. Wajahnya memancarkan binar-binar yang aneh. “Ayolah, mau apa kita disini?” kataku menarik tangannya. “Disini pertama kali kita berciuman,” sahutnya. Dan aku sama sekali tak ingat hal semacam itu. Terutama bagian ‘tempat’ dimana kami pertama kali berciuman. Yang aku ingat adalah saat pertami kali menciumnya, aku merasa menemukan kembali titik keseimbangan dalam diriku yang selama ini hilang. Seolah dia datang sebagai suatu hukum fisika tersendiri. Tapi ‘tempat’? Oh, aku mempercayakannya pada istriku. Kini, dia kembali menarik tanganku. Berjalan semakin cepat. Kami melewati beberapa gang tanpa nama, yang di kanan kirinya berjejal graffiti dan mural. Sepintas aku bisa melihat nama kami tertulis di salah satu sudut gang, dengan gambar hati berwarna kuning yang begitu besar di atasnya. “Lihat,” kataku sambil menuding. Dia tak menoleh sama sekali. “Kita harus segera menemukan apa yang kamu cari,” katanya dengan nada serius. Menurutku, dia bukan jenis orang yang tergesa-gesa. Dalam hal apapun dia akan mempertimbangkan masak-masak, menentukan strategi yang tepat, baru lantas meluncur dalam kecepatan cahaya. Lebih-lebih ketika berbelanja di mall—tentu saja. Tapi kali ini, bagiku dia tampak seperti bukan dirinya. “Apa kamu enggak lelah?” celetukku. “Mendengar keluhan?” “Bukan. Berjalan secepat ini.” “He-eh.” Kemudian, seketika dia berhenti dan minta digendong. Bukankah perempuan benar-benar sulit dimengerti? Sama susahnya dengan menghitung jumlah bintang di alam semesta. Aku menggendongnya, lalu berjalan pelan. Selama beberapa jam, dia mengenang berbagai hal. Dari awal pertemuan kami hingga akhirnya kami menikah. Dari tempat dimana kami terpaksa menepi karena kehujanan, sampai toilet yang karena saking bersihnya sehingga membuat dia takut berada di dalamnya. Bagaimana pun, aku senang mendengarnya mengoceh. Apalagi ketika dia berbicara dengan nada kekanak-kanakan di dekat telingaku. Semua itu membuat, kurasa memang karena semua itu, kakiku yang sudah berjalan begitu jauh tak terasa seberapa payah, seolah-olah telah diganti dengan sepasang kaki cyborg. “Apa masih jauh?” “Enggak,” sahutnya. “Itu dia,” menuding ke arah sesosok perempuan berambut sebahu yang sedang berdiri di depan sebuah sumur, menjengukkan kepala ke dalam mulut sumur yang menganga, dengan kedua tangan membentuk semacam corong pada salah satu telinganya. “Siapa dia?” Sekarang aku ingat. Istriku sempat bercerita bahwa sewaktu kecil dia suka melemparkan batu ke dalam sumur di rumahnya, supaya bisa mendengar suara yang dihasilkan benturan batu pada air sumur. Bahkan setelah kami menikah, setiap kali kami mengunjungi orangtuanya, dia masih melakukannya. Kenyataan tersebut benar-benar membuatku malas. Ini seperti kebanyakan akhir cerita yang pernah kubaca. Perempuan yang berdiri di depan sumur itu tidak lain adalah istriku. Lalu ketika aku menepuk pundaknya, dia akan berbalik badan dan memelukku dengan mesra. Dan cerita pun berakhir. Memikirkannya membuatku malas bergerak. Tapi istriku seketika melompat dari gendonganku. Dia mendorongku mendekat ke arah perempuan itu berdiri. Tangannya memegang bahuku dengan erat, kemudian lepas. Aku menepuk bahu perempuan itu. Aroma lavender tercium dari tubuhnya. Dia memutar badannya sedikit, hanya sedikit. Dan aku menyadari bahwa perempuan itu bukan istriku. Aku baru saja dipertemukan dengan cinta. Kemudian aku terbangun. Istriku masih lelap. Aku bergeser, lantas duduk di sampingnya. Kakiku terasa begitu pegal. Paginya, istriku akan bertanya padaku kenapa semalam aku memeluknya begitu erat. Aku katakan bahwa itu bukan salahku. Istriku tersenyum. Dia mengerti apa yang kumaksud
No comments:
Post a Comment